sing for the moment

0

cerita yg bikin kita miris klo membacanya

cerita yg bikin kita miris klo membacanya
cerita ni gw dapet dari milis tetangga bro,
yah sekedar ingin sharing aja


Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania
harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali
kami pun wali hakim. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Itu 25 tahun yang lalu.

22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elite, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.
aku punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya . Orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,
melompat-lompat atau meloncat kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Dan Kania tak jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.
"Horee, Iya jadi pemain bola."

17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di
rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Hari itu hari Sabtu dan aku akan menjemputnya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa..." Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia bola!"

15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin
penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan
atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya
dia memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu
hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!" hiburku."Pak, Iya pake ****** aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui
pikiranku. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di
sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi
Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak
pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya
itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin
pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,
kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia
terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus
menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa
selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar,
aku ingin menggantikannya.
"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya
dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan
dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!"
Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya
hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu
menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang
terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.

2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir
melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di
belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan
dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan
'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
"Kania?"
"Mas Har, kau . !"
"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"
"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.
"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."
"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang
tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri
Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku
tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia
mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.
Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak,
"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang
pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya sayang?

0 comments:

Post a Comment